EnglishFrenchGermanItalianJapaneseKoreanRussianSpanish

“Sei Baru Tewu"

Desa Sei Baru Tewu merupakan salah satu desa lokal masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah. Keberadaan Suku Dayak Ngaju dapat dijumpai sepanjang Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah. Cakupan wilayah desa itu terletak di bagian barat dan timur Sungai Kahayan

“Sustainable Village"

Desa Berkelanjutan selain mengintegrasikan kelestarian lingkungan, peningkatan ekonomi dan sosial budaya juga bisa menjadi obyek wisata desa yang menarik bagi wisatawan. Desa yang menerapkan konsep itu bisa dikategorikan Desa yang ramah lingkungan (Ecovillage).

“Pembelajaran di Luar Kelas"

meningkatkan kesehatan anak, melibatkan mereka dalam pembelajaran serta mendorong keterikatan anak dengan alam. Bermain bukan hanya mengajarkan keterampilan penting dalam kehidupan, seperti daya tahan, kerja sama, dan kreativitas, tetapi juga merupakan hal yang pokok bagi anak untuk menikmati masa kecil mereka.

“SDN Tahai Baru 2"

Memanfaatkan dedaunan di sekitar sekolah untuk dijadikan prakarya yang indah

Training Advokasi – Human Rights Based Approach Program Leading the Change – WWF Indonesia

8 Desember 2022, Bambang Parlupi  

Meningkatan Kapasitas Pelaksana Program LtC dan Mitranya dalam Pendayagunaan Pendekatan Berbasis HAM Dalam Memajukan Konservasi

Dalam upaya mewujudkan inclusive conservation, maka diperlukan peran serta semua pihak, mulai dari pemerintah, kelompok bisnis, masyarakat sipil, masyarakat adat dan individu dalam memajukan konservasi. Pengakuan peran tersebut terutama ditujukan pada perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities atau IPLC) dalam pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan. Di tingkat praktik atau lapangan, promosi dan upaya inclusive conservation biasanya dihadapkan pada masalah tidak adanya pengakuan sungguh-sungguh atas keberadaan dan peran IPLC. Bahkan tidak adanya pengakuan itu terangkat sebagai kasus-kasus konflik struktural, pengusiran, penyingkiran atau marjinalisasi yang pada akhirnya membuat kehidupan IPLC rentan dan miskin. Dalam konteks ini, pemajuan konservasi tidak bermakna dan sekaligus tidak memberi manfaat pada IPLC yang ada di dalam dan sekitar kawasan konservasi.   

Karena keberadaan dan perannya, IPLC sesungguhnya telah banyak diakui kemampuannnya dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari, termasuk dalam menjaga dan memanfaatkan keanekaragaman hayati. Masyarakat adat memiliki nilai-nilai, adat dan tradisi, serta praktik kehidupan yang langsung berhubungan dengan sumberdaya alam. Merawat sumberdaya alam berarti menjaga masa depan kehdiupan. IPLC juga manusia, pengakuan atas martabatnya merupakan keharusan berdasar hukum dan konstitusi.   

Hal tersebut menjadi letak strategis dari pendayagunaan Human Rights Based Approach (HRBA) dalam mengupayakan dan memajukan konservasi. IPLC adalah rights holders atau penyandang hak yang seharunya memiliki jalan untuk mengklaim hak-haknya untuk memajukan kehidupannya, lepas dari kemiskinan dan sekaligus menunjukkan peran yang lebih efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan, termasuk mewujudkan inclusive conservation.  

Dengan demikian, memahami inclusive conservation adalah berusaha memahami aspek-aspek pokok atau inti darinya, yakni: pertama. pengakuan peran dan keterlibatan berbagai pihak, terutama IPLC dalam pengambilan keputusan pencapaian tujuan pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan keanekaragaman hayati di sini bersifat transparan, inkulisif dan berkeadilan; kedua pengakuan hak-hak dari IPLC (rights holders) berdasar hukum hak asasi manusia nasional dan internasional; dan ketiga menunjuk langsung pada organisasi WWF Indonesia, terkait posisi dan perannya dalam mempromosikan dan mewujudkan inclusive conservation.   

Yang disebut terakhir itulah, yang kini direncanakan untuk terus ditingkatkan kapasitasnya dalam advokasi, suatu kerangka kerja advokasi yang mendayagunakan strategi pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia (HRBA) untuk perlindungan hak-hak IPLC, pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan. Program Leading the Change (program LtC) menjalankan mandat ini.  

Training advokasi HRBA yang dilakukan 28 November – 1 Desember 2022 di Hotel Ibis-Jakarta Selatan diikuti lebih dari 40 orang peserta dari 29 mitra kerja LtC. Perserta yang hadir dari berbagai daerah atau pulau di Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Lampung, Kalimantan Utara, kalbar, kaltim serta Kalteng. Ada juga mitra yang mempunyai pendampingan masyarakat di Papua barat.  

Salah satu bahan kajian yang dipresentasikan oleh narasumber yaitu Konstitusionalisme Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, yang dijabarkan dengan apik oleh akademisi, Yance Arizona, Ph,D. Sedangkan Herlambang P Wiratraman, Ph.D mempresentasikan makalah berjudul Konsep dan insrumen Hukum Hak Asasi Manusia Nasional dan Internasional (Tematik: IPLC dan Lingkungan Hidup). Materi kelas tentang Konsep Rights Holders dalam kerja advokasi juga dijabarkan oleh para fasilitator. Selain itu ada juga materi tentang Kelembagaan HAM Nasional yang dipresentasikan oleh aktivis HAM, Pabrianto (Komnas HAM).     

Meningkatkan Kapasitas Mitra  

Adapun tujuan dari pelaksanaan Training Advokasi – HRBA ini adalah untuk meningkatkan kapasitas mitra LtC di pelbagai daerah dalam pemahaman dan keterampilan advokasi dengan mendayagunakan strategi pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan.   

WWF Indonesia dalam programnya, LtC berharap kepada semua mitra agar dapat meningkatan kapasitas advokasi dari mitra LtC yang terukur melalui pre test dan post test training. Selain itu , diharapkan akan tersedia sebuah panduan advokasi HRBA berdasar pengalaman praktik mitra dan proses pelaksanaan di lapangan dalam menjalankan program selanjutnya.  

“Pelatihan ini adalah upaya yang dirancang untuk peningkatan kapasitas pelaksana program LtC dan mitranya dalam pendayagunaan pendekatan berbasis hak-hak asasi manusia dalam memajukan konservasi,” ujar Albert Tiju, Program Mananager LtC, dari WWF Indonesia. Ia menjabarkan bahwa, praktik-praktik advokasi mitra LtC yang dijalankan saat ini seperti dalam pendampingan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya, mengakses Perhutanan Sosial, termasuk dalam penetapan Hutan Adat, membangun ICCA, pemanfaatan keanekaragaman hayati, menjaga kawasan lindung, mengelola pangan lokal, termasuk dalam kerja hal advokasi FPIC adalah berhubungan langsung dengan konsep hak-hak asasi manusia IPLC. Sumberdaya pengetahuan dari lapangan dari mitra kerta LtC diharapkan akan semakin kuat melalui program peningkatan pemahaman dan ketrampilan advokasi yang menghubungkan tiga hal, yakni: inclusive conservation – human rights based approach – advocacy.