EnglishFrenchGermanItalianJapaneseKoreanRussianSpanish

“Sei Baru Tewu"

Desa Sei Baru Tewu merupakan salah satu desa lokal masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi

Kalimantan Tengah. Keberadaan Suku Dayak Ngaju dapat dijumpai sepanjang Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah. Cakupan wilayah desa itu terletak di bagian barat dan timur Sungai Kahayan

“Sustainable Village"

Desa Berkelanjutan selain mengintegrasikan kelestarian lingkungan, peningkatan ekonomi dan sosial budaya juga bisa menjadi obyek wisata desa yang menarik bagi wisatawan. Desa yang menerapkan konsep itu bisa dikategorikan Desa yang ramah lingkungan (Ecovillage).

“Pembelajaran di Luar Kelas"

meningkatkan kesehatan anak, melibatkan mereka dalam pembelajaran serta mendorong keterikatan anak dengan alam. Bermain bukan hanya mengajarkan keterampilan penting dalam kehidupan, seperti daya tahan, kerja sama, dan kreativitas, tetapi juga merupakan hal yang pokok bagi anak untuk menikmati masa kecil mereka.

“SDN Tahai Baru 2"

Memanfaatkan dedaunan di sekitar sekolah untuk dijadikan prakarya yang indah

Tuah, Hutan Adat Rasau Sebaju

8 Desember 2022, Heri Irawan (Suar-Kalimantan Barat)

Kenangan masa lalu memang sulit dilupakan. Walaupun lupa, upaya untuk menyatu dengan masa lalu pun dilakukan. Demikian masyarakat adat Sebaju yang tak ingin melupakan masa lalu yang telah diukir oleh tetua mereka. Jejak tetua pun terus dirunut. Diuntai dengan kisah dan perbuatan. Kisah selalu dijaga secara turun temurun. Perbuatan pun ditunjukan sebagai penghormatan terhadap warisan masa lalu. Bagi masyarakat Sebaju, penghormatan diwujudkan dengan memelihara hutan adat Rasau Sebaju. Sebab, adalah Rasau Sebaju jejak tetua beraktivitas, bercocok tanam, bersosialisasi, beradat dan berbudaya.

Sehingga terwujudlah sebuah tatanan masyarakat yang memiliki peradaban dan mewariskan hutan adat tersebut yang terhampar luas. Tanah Tuah Rasau Sebaju, kampung tua peradaban bersuku Katab Kebahan, terletak di pohon jelutung tumbuh besar di hutan rasau sebaju. Pada musim kemarau, mereka terus memanen Lua dan tanaman umbi-umbian lainnya. Tanaman umbi-umbian ini ibarat cadangan makanan bagi warga. Sepanjang musim kemarau, mereka bisa mengambil umbi-umbian sembari menunggu musim hujan untuk musim tanam tanaman pangan lokal seperti Sorgum, Jagung, Jewawut, dan beberapa tanaman pangan lokal lainnya.

Menuju kampung Kampung Sebaju, Desa Nanga Kebebu, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi dapat ditempuh berkendaraan dari Nanga Pinoh sekitar 36 km, sedangkan jarak hutan ke pemukiman Sebaju hanya 500 meter. Jika datang dari Kota Pontianak, dibutuhkan waktu sekitar 10 jam perjalanan darat untuk mencapainya. Hutannya memiliki kawasan seluas kurang lebih 200 hektar yang merupakan hutan milik bersama masyarakat kampung Sebaju. Kawasan ini memiliki potensi khasanah hutan rawa gambut yang sangat kompleks mulai dari potensi kayu dan potensi bukan kayu, seperti diantaranya ikan air tawar, anyaman, tanaman obat dan berbagai hewan endemik hutan rawa gambut. Jumlah penduduk masyarakat Sebaju sekitar 67 kepala keluarga. Berpenduduk sekitar 320 jiwa.

Mata pencaharian masyarakat adat sebaju didominasi sektor perkebunan dan pertanian. Utamanya, perkebunan karet yang menjadi penopang ekonomi keluarga. Saat ini masyarakat Sebaju menoreh hutan pinus sebagai pendapatan sampingan ekonomi keluarga. Rata-rata masyarakat Sebaju adalah tamatan sekolah dasar, bahkan masih banyak yang tidak tamat sekolah. Meskipun demikian, saat ini sudah mulai ada beberapa orang putra-putri daerah yang menggeliat untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, buktinya sudah ada yang menjadi sarjana. Penghormatan diwujudkan juga dengan memperkuat aturan-aturan adat dan berbagai kearifan lokal yang disepakati bersama. Tak hanya disitu, warga Sebaju pun melembagakan diri dalam sebuah organisasi yang memiliki aturan baku dan rencana jangka panjang. Dengan harapan, hutan adat Rasau Sebaju bisa diwariskan ke anak cucu kelak. Tatanan ini hadir sebagai bagian dari upaya menjaga agar hutan adat tetap lestari dan menjadi penutur tentang kisah mereka kepada generasi mendatang. Kelak apa yang dilakukan masyarakat Sebaju saat ini menjadi bagian dari sejarah kearifan lokal dalam melindungi dan mengelola kawasan penting mereka.

Coretan Potret Hutan Adat Rasau Sebaju

Syahrudin, biasa dipanggil Cik Syah adalah ketua adat yang berlembagakan Pasak Sebaju. Hingga sekarang masih mengobarkan semangat menjaga hutan adat Rasau Sebaju. Dulunya dia adalah pembalak hutan tetapi kini dia berbalik arah 180 derajat, menjadi penggiat yang tangguh menjaga hutan. Salah satu ucapanya yang tegas adalah, “Beliong sama diumpai, borat sama dipikol, telanga sama diluit, Sikit sama dibagi, pait sama ditolan, nyaman sama dimakan (mari memulai sama-sama bekerja, yang berat dipikul bersama, masalah diselesaikan bersama mendapat sedikit sama dibagi, yang pahit dirasakan bersama yang enak juga dirasakan bersama).” “Kami telah mengembalikan kearifan yang hilang dan sudah disepakati bersama dan dibukukan secara tertulis dalam aturan adat.” ujar Cik Syah.

Tatanan adat itu tertuang dalam Peraturan Lembaga Pasak Sebaju No. 01 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Rasau Sebaju yang diantaranya mengatur Langkah Lalu, Gunung Timbul(ganti rugi), Pemali Kubur, Panang Jolas, Pemali Nubak Sungai, dan lainya. Langkah Lalu adalah satu perlakuan salah dari seorang pendatang ke desa tanpa melaporkan diri kepada kepala desa. Ia dikenakan hukum adat ini dan diwajibkan membayar 40-60 real per mas. Selain Langkah Lalu, orang yang tidak melapor bisa juga dikenakan Adat Basa. Namun, sanksi adatnya bersifat satu atau gabungan, hanya diatur besar kecilnya sanksi. Denda paling besar, yakni 60 real per mas (real diubah ke dalam rupiah), diberikan jika tidak berkoordinasi sama sekali. Sanksi yang lain seperti Gunung Timbul (ganti rugi) yang mengatur tentang sanksi terkait hewan ternak. Kawanan ternak, seperti sapi, kambing, dan babi, biasanya dipelihara di luar pemukiman.

Adakalanya binatang ternak ini berkeliaran masuk kampung dan banyak yang merusak. Pemilik kawanan ternak dapat dituntut membayar Adat Gunung Timbul sebanyak 2 real sampai 10 real. Besar dan kecilnya pembayaran tergantung atas kebijaksanaan pemangku adat. Adat ini sekarang dinamakan Ganti Rugi, kalau ladang dimasuki babi, maka babi tersebut harus dibunuh, dan ganti rugi diberikan sesuai kerugian dan kesepakatan. Ada beberapa contoh aturan adat lainnya, seperti Pemali Kubur yang berlaku jika ada pengerusakan benda keramat (misal, sandung dan patar) secara tidak sengaja atau sengaja dalam peristiwa kematian.

Hukum Adat Pemali Kubur akan berlaku dengan denda sebesar 20 real sampai 40 real. Selain itu, Panang Jolas adalah aturan terkait dengan Pemali Kubur. Berladang di dekat kuburan disebut Panang Jolas, dikenakan sanksi 80 real per mas. Kalau kubur dijadikan ladang maka akan ditambahkan ganti rugi kubur. Selanjutnya, jika berladang di tembawang yang ada kubur maka akan dikenakan adat Panang Jolas, dan jika ada sandung maka akan dikenakan biaya pembuatan sandung tersebut. Ada aturan juga yang diterapkan untuk menjaga kelestarian sungai, yaitu Pemali Nubak Sungai Maksudnya adalah larangan untuk masyarakat melakukan aktivitas menubak sungai dengan menggunakan racun yang bersifat mengancam nyawa orang, maka pelaku disanksi hukum adat 10 real, sedangkan menyetrum ikan di sungai dikenakan adat basa 40 real. Kalau nubak di hulu sungai dan di hilirnya terdapat pemukiman, akan dituntut Ngucah Arai, karena beresiko terhadap nyawa orang dan dikenakan sanksi 40 real.

Selanjutnya, ada yang disebut Berumpan Arai, merupakan tradisi meminta izin kepada penghuni di sekitar lahan hutan rimba yang dibuka. Upacara adat yang dilakukan, yakni dengan melakukan ritual membaca doa dengan makan bersama masyarakat di dalam masjid kemudian secara simbolis memberikan makanan kepada air atau sungai karena sudah memberikan kesejahteraan dan air yang diperlukan. Kemudian, Berumpan Gano Buah adalah memberikan makanan secara simbolis kepada hutan karena telah memberikan kesuburan yang melimpah.

Demikianlah masyarakat Sebaju mengikat masa lalu mereka dalam kegiatan saat ini. Ikatan yang kuat ini mendorong untuk mereka melindungi dan melestarikan kawasan hutan adat Rasau Sebaju. Hal tersebut tidak terlepas dari beberapa tahun belakangan, ketika seluruh warga Sebaju merambah menebang pohon yang ada di hutan. Mereka juga menubak dan berburu liar. Tetapi, sebagai dampaknya kala itu memberikan petaka. Jangankan untuk mendapatkan ikan, hewan, serta buah-buahan, sumber air pun mengering. Kebakaran terjadi membuat kehidupan mereka sangatlah sulit. Perubahan itu terjadi ketika sejumlah lembaga masyarakat saling berkerjasama antara lain Suar Institute di tahun 2013 sebagai lembaga yang peduli dengan isu-isu lingkungan, sebagai pelaksana lapangan. Dengan berbagai proses panjang, mereka berhasil menghidupkan kembali titah para leluhur yang sudah sempat memudar.

Pendampingan yang mereka lakukan berhasil menghidupkan budaya masyarakat untuk menuju kearifan lokal. Setelah aturan itu disepakati, akhirnya membukukan secara tertulis dalam bentuk peraturan desa diterbitkan. Dalam perjalanannya mendorong proses hidup yang berkelanjutan saat ini, masyarakat Sebaju sudah memiliki tatanan pengelolaan kampung berkelanjutan hingga akhirnya mendapatkan ‘’Tuah’’ (berkat) dari Hutan Rasau Sebaju. ‘’Tuah’’ atau keajaiban itu terus menjaga Rasau Sebaju menjadi tempat lumbung ikan yang berlimpah berkat menjaga sesuai kearifan lokal yang ada. Pemukiman warga Sebaju juga tergantung pada keberadaan Rasau Sebaju ini. Fungsi pengikat air hutan tersebut sangat penting untuk menahan banjir.

Kini, kawasan ini menjadi sumber penghidupan bagi masyakat Sebaju, memberikan “tuah”nya untuk anak manusia yang terus menjaga dan memberikan kekayaan alam bagi masyarakat dalam bentuk buah-buahan, obat-obatan, serta kekayaan lainya. Sebaliknya, bila kondisi Rasau Sebaju rusak, ‘’tuah’’ nya akan sirna dan sejatinya akan memberikan petaka. Dengan kesadaran fakta tersebut, agenda yang perlu terus dijaga adalah bagaimana masyarakat Sebaju akan terus berupaya untuk menjaga dan merawatnya agar Rasau Sebaju tetap terus hidup sehingga akan selalu memberikan “tuah”nya kepada anak manusia. Untuk itulah tatanan hukum adat yang sudah ada harus tetap dipertahankan.