Desa Sei Baru Tewu, Pemukiman Dayak Ngaju
7 Desember 2022, Bambang Parlupi/YSAD
Desa Sei Baru Tewu merupakan salah satu desa lokal masyarakat Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Keberadaan Suku Dayak Ngaju dapat dijumpai sepanjang Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah. Cakupan wilayah desa itu terletak di bagian barat dan timur Sungai Kahayan. Desa Sei Baru Tewu kaya akan keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang membentuk ekosistem gambut di wilayah tersebut. Beberapa flora dan fauna yang masih dapat ditemui sampai saat ini diantaranya bekantan, monyet ekor panjang, babi hutan, beruang, kancil, rotan, purun, galam, rumbia, halaban, jelutung, dan humbut.
Desa Sei Baru Tewu, berada di sempadan Sungai Kahayan dan dikelilingi oleh ekosistem gambut serta hutan hujan dataran rendah. Dengan kondisi rawa gambut, ternyata desa ini mempunyai fungsi sosial ekonomi yang tinggi bagi masyarakat lokal. Hal tersebut karena lahan gambut memiliki keanekaragaman hayati dengan nilai ekonomi tinggi seperti tumbuhan penghasil produk kayu dan non-kayu, penghasil ikan, jamur dan tanaman obat-obatan, walet serta lebah hutan.
Pusat Pemerintahan Desa, yang ditandai dengan berdirimya Kantor Kepala Desa Sei Baru Tewu berada di RT 2, tepatnya di Jalan Betet No. 16. “Ada empat RT (Rukun Tetangga) yang ada di desa tersebut yang dibatasi dengan Sungai Kahayan”, kata Kepala Desa Sei Baru Tewu, Bapak Sima. Adapun, jarak dari pusat Pemerintahan Desa ke Kecamatan sekitar 20 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 50 menit. Jarak ke Ibukota Kabupaten Pulang Pisau sekitar 15 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 30 menit. Sedangkan jarak ke Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah (Kota Palangkaraya) sejauh 115 Km dan bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 3 jam lamanya melewati jalan propinsi yang mulus. Namun, hingga saat ini (Oktober 2022) belum ada transportasi umum untuk menuju ibu kota kecamatan Maliku maupun ke pusat kota Kabupaten Pulang Pisau. “Para penduduk biasanya menggunakan sepeda motor atau mobil travel/taksi tidak resmi yang merupakan kendaraan pribadi dan dipakai untuk membawa penumpang menuju pusat kota,” ujar Bapak Kepala Desa.
Jenis tanah yang ada di desa yang luas wilayahnya mencapai 3538,91 Ha terdiri dari dua jenis, yaitu tanah aluvial di bantaran sungai, dan tanah gambut di bagian barat dan timurnya. Keberadaan lahan gambut disamping memiliki fungsi ekologis juga memiliki fungsi ekonomi dan sosial budaya. Fungsi ekologis yang diperankan lahan gambut diantaranya menjaga keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, penghasil oksigen dan pengelolaan air.
Sejarah Desa Tewu
Menurut cerita para orang tua desa, dahulu kala, sejumlah kelompok Suku Dayak tinggal di sekitar bantaran sungai, seperti sungai Matih, Sungai Baru, Saka Duhung, Sungai Kanihin dan Sungai Awang. Mengingat tempat tinggalnya saling terpencar, maka oleh tetua kampung dikumpulkan. Mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk membuat tempat pemukiman secara mengelompok di tepi Sungai Kahayan, tepatnya di muara Sungai Baru. Karena mereka sadar dengan hidup berkelompok segala kesulitan hidup dapat diatasi bersama dan dimusyawarahkan bersama. Atas dasar itulah, terbentuk sebuah perkampungan yang kemudian diberi nama Sungai Baru. Nama Sungai Baru itu sendiri diambil dari nama pohon kayu baru (waru) yang tumbuh berjejer di sepanjang sungai. Saat itu, ditunjuk sebagai Kepala kampung yang pertama bernama Bapak Dayan Nusa.
Sekitar tahun 1957 Bapak Asna (Bapak Banga) dan kawan-kawan membuka lahan baru di seberang Sungai Kahayan sebagai lahan untuk menanam padi sawah. Handel atau parit di kawasan lahan gambut dibangun secara gotong royong dengan menggunakan peralatan sederhana seperti selundak, cangkul, dan lain-lain yang menghabiskan waktu berbulan bulan. Kemudian parit besar tersebut diberi nama Sungai Tewu. Pasalnya, masyarakat menanami pohon tewu (tebu), disepanjang tanggul galian tersebut.
Lahan disepanjang Sungai Tewu ditata dan diolah menjadi areal persawahan yang subur dengan hasil panen yang memuaskan. Berita kesuburan tanah dan keberhasilan petani di Sungai Tewu tersebar sampai ke hulu dan hilir Sungai Kahayan. Hal ini mengundang kedatangan para penduduk dari wilayah lain seperti Bahaur, Pangkoh, Pulang Pisau, Kalawa, bahkan sampai dari Goha, Tewah (Kabupaten Gunung Mas). Mereka datang untuk ikut membuka lahan di kawasan tersebut. Sejak saat itu, kawasan bantaran Sungai Tewu semakin bertambah banyak orang yang bermukim dari berbagai daerah.
Pada tahun 1967 atas prakarsa Bapak Elok Pantap, Bapak Asna dan lainnya, mengusulkan pemekaran desa kepada pihak pemerintah. Atas berbagai pertimbangan, Pemerintah akhirnya mengabulkannya pada tahun 1968 dan diberi nama Kampung Sungai Tewu. Atas jasanya oleh tetua kampung diangkatlah Bapak Elok Pantap Ketua Kampung Sungai Tewu yang pertama. Sejak saat itu desa resmi dimekarkan menjadi dua desa. Sebelah barat Sungai Kahayan dinamakan Kampung Sungai Baru dipimpin oleh Bapak Dayan Nusa dan di wilayah timur Sungai Kahayan diberi nama kampung Sungai Tewu yang dipimpin oleh Bapak Elok Pantap.
Pada tahun 1980, dimasa kepemimpinan Kepala Desa, Bapak Kurdi S Rombang mengajak masyarakat untuk pindah membuat pemukiman baru di tepi Sungai Kahayan tepatnya di muara Sungai Tewu dengan maksud untuk memudahkan segala aktifitas baik transportasi maupun komunikasi ke luar daerah. Karena di dalam sungai aktifitas sangat tergantung pada kondisi alam, yaitu pasang surutnya air sungai. Namun kepindahan pemukiman tersebut selain ada dampak positifnya ada juga dampak negatifnya. Di satu sisi segala aktifitas masyarakat sudah agak membaik dibanding ketika bermukim di sungai dalam. Namun, dalam pertimbangan lainnya tidak semua masyarakat yang pindah dari sungai ke pemukiman baru yang disiapkan oleh Pemerintah Desa. Tetapi, sebagian pindah dan kembali ke kampung asal. Sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap jumlah penduduk.
Pada perkembangannya tepatnya tahun 1995 terjadi penggabungan kedua wilayah tersebut menjadi satu pemerintahan dan diberi nama Desa Sei Baru Tewu yang diambil dari nama kedua desa tersebut. Dalam masa pemerintahan desa selanjutnya, ada beberapa kegiatan pembangunan yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat antara lain, pada tahun 2005 melalui program PKPS BBM-IP dibangun jalan penghubung Sei Tewu – Mintin sepanjang 2,5 Km. Sehingga segala aktifitas masyarakat Sei Tewu sejak saat itu sudah bisa melalui transportasi darat yang sebelumnya selalu mengandalkan transportasi air yaitu pakai perahu kayu (jukung dan klotok).
Pemukiman Dayak Ngaju
Masyarakat Ngaju dan kehidupan sungai merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut masih dapat disaksikan hingga sekarang apabila kita mengunjungi tempat tinggal masyarakat Ngaju di Kalimantan bagian selatan, yaitu sekitar Sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan, dari hilir hingga ke hulu. Salah satu kajian yang menarik dalam ilmu arkeologi adalah pemukiman (settlement archaeology), yang menurut Trigger (1967: 151) merupakan penelitian hubungan sosial dengan menggunakan data arkeologi sosial mencakup hubungan sinkronik (struktural) ebagai salah satu suku asli yang telah mendiami bagian dari Pulau Kalimantan.
Penelitian terhadap masyarakat Ngaju telah banyak dilakukan. Informasi tentang masyarakat Ngaju yang tinggal di sepanjang Daerah Aliran Sungai Kahayan juga diperoleh dari laporan perjalanan peneliti Belanda, Schwaner pada tahun 1843 sampai dengan 1847.
Balai Arkeologi Banjarmasin pada tahun melakukan survei di sepanjang Sungai Kahayan, baik di bagian hilir maupun di bagian hulu. Penelitian tersebut telah mendokumentasikan beragam data arkeologi yang ditemukan di bekas kampung (kaleka), dan juga lingkungan desa yang sekarang masih menjadi tempat tinggal. Balai Arkeologi juga melakukan ekskavasi di dua situs hunian di bagian hulu Kahayan, yaitu Kuta Hantapang dan Kuta Mapot.
Komunitas Ngaju di Kalimantan Tengah Ngaju adalah salah satu suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, tepatnya di empat aliran sungai besar di Kalimantan bagian Tenggara, yaitu Sungai Barito, Sungai Kapuas, Sunga i Ka hayan, dan Sungai Katingan.
Masyarakat Ngaju hidup di aliran sungai tersebut bersama dengan suku lainnya, seperti Maanyan dan Lawangan di Sungai Barito, dan Ot Danum di Sungai Kapuas, Sungai Kahayan, dan Sungai Katingan. Kelompo k masyaraka t tersebut menggunakan bahasa yang berbeda dalam kesehariannya, yang namanya melekat sesuai nama sukunya. Menurut Antonio J. Guerreiro (2003: 285-286), kelompok masyarakat yang berada di wilayah Kalimantan bagian selatan tersebut termasuk kelompok Budaya Barito (Barito Culture Area), yang terdiri atas Ot Danum, Siang, Maanyan, Ngaju, Lawangan/Luangan).
Bahasa yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda, dan menurut Hudso n (1 967:16) ada lima kelompok masyarakat berdasarkan bahasa yang digunakan, yaitu 1) Barito bagian barat laut (northwest Barito) terdiri atas Dohoi, Murung 1, Murung 2, dan Siang; 2) Barito bagian timur laut (northeast Barito) yang terdiri atas Tabojan, Lawangan, Pasir, Bawu; 3) Barito bagian tengah timur (central east Borneo) yang terdiri atas Dusun Dejah; 4) Barito bagian tenggara (southeast Borneo) yang terdiri atas Paku, Maanyan, Samihin, Dusun Witu, Dusun Ma lang; da n 5) Barito bagian barat daya (southwest Barito) yang terdiri atas Ba’amang, Katingan, Kapuas, Mengkatip, Bakumpai, dan Kahajan. Penggunaan bahasa sehari-hari yang berbeda pada masing-masing suku tersebut berada pada wilayah berbeda dan sebagian dipisahkan oleh aliran sungai yang berbeda, sebagian lainnya berada pada daerah aliran. Penggunaan bahasa sehari-hari yang berbeda pada masing-masing suku tersebut berada pada wilayah berbeda dan sebagian dipisahkan oleh aliran sungai yang berbeda, sebagian lainnya berada pada daerah aliran sungai yang sama. Masyarakat Ngaju yang menggunakan bahasa Barito bagian barat daya (southwest Barito) yang hidup di empat aliran sungai yang berbeda, yaitu Sungai Barito, Sungai Kapuas, Sungai Kahayan, dan Sungai Katingan.
Masing-masing sungai besar tersebut memiliki anak sungai yang terpencar-pencar. Sebenarnya, di bagian hulu Sungai Kahayan, selain masyarakat Ngaju, juga hidup secara berdampingan masyarakat Ot Danum. Selain sebagai pembatas (antarkomunitas), sungai juga berfungsi sebagai penghubung yang digunakan sebagai sarana transportasi dari dan ke hilir atau hulu. Aliran Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan dihubungkan oleh sungai buatan, yaitu anjir (dibuat pada masa kolonial) yang berada di wilayah Kabupaten Pulang Pisau. Sungai Kahayan dan Katingan secara tidak langsung dihubungkan oleh anak Sungai Kahayan (di bagian hulu). Melalui aliran sungai tersebut perpindahan barang dan ide (pengaruh dari luar seperti keyakinan) masuk ke pemukiman baik di hilir maupun di hulu Kehidupan Masyarakat Ngaju pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan Bagian Hulu.
Cara Bermukim dan Mata Pencaharian
Masyarakat Ngaju di bagian hulu DAS Kahayan yang menjadi objek penelitian ini bermukim di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Gunungmas. Wilayah kabupaten Pulang Pisau sebagian besar berada di bagian hilir Kapuas, hanya Kecamatan Banama Tingang saja yang dianggap masuk dalam wilayah hulu Kahayan.
Masyarakat Ngaju dulunya hidup berkelompok secara berpindah, dan tempat tinggal lama yang sudah ditinggalkan dikenal sebagai kaleka. Kaleka masing-masing kelompok tersebut banyak yang sudah tidak bisa ditemukan lagi, karena letaknya sudah jauh dari desa tempat tinggalnya sekarang, dan karena hanya mengandalkan ingatan sehingga generasi yang sekarang sudah tidak mengetahui lagi.
Penelusuran terhadap pemukiman kuno sudah mulai dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin sejak tahun 2013 dengan melakukan survei terhadap peninggalan arkeologi di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Kahayan dari hilir sampai ke hulu. Penelitian arkeologi secara intensif terus dilakukan di wilayah bagian hulu Sungai Kahayan. Sehingga diketahui, bahwa ada dua macam hunian kuno, yaitu hunian berpagar keliling (disebut kuta) dan hunian tanpa pagar (kaleka).