Mendata Potensi Wisata Desa Sei Baru Tewu
8 Desember 2022, Bambang Parlupi/YSAD
Sei Baru Tewu adalah sebuah pemukiman Suku Dayak Ngaju. Lokasinya berada di pinggir Sungai Kahayan di Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Dikelilingi oleh kawasan rawa gambut dan hutan hujan dataran rendah khas Borneo serta kebun-kebun penduduk. jarak dari pusat Pemerintahan Desa ke Kecamatan sekitar 20 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 50 menit. Sedangkan, jarak ke Ibukota Kabupaten Pulang Pisau sekitar 15 km atau berkendaraan bermotor sekitar 30 menit. Dari ibukota Provinsi Kalimantan Tengah,Kota Palangkaraya, sekitar 115 Km atau 3 jam berkendaraan melewati jalan propinsi yang mulus.
Namun, hingga saat ini (Oktober 2022), saat tim dari www.pustakaborneo berkunjung belum ada transportasi umum untuk menuju ibu kota kecamatan Maliku maupun ke pusat kota Kabupaten Pulang Pisau apalagi transportasi langsung menuju Desa Sei Baru Tewu. “Para penduduk biasanya menggunakan sepeda motor atau mobil travel/taksi tidak resmi yang merupakan kendaraan pribadi dan dipakai untuk membawa penumpang menuju pusat kota,” ujar Bapak Kepala Desa, Bapak Sima.
Menurut cerita para orang tua desa, dahulu kala, sejumlah kelompok Suku Dayak Ngaju tinggal di tepi Sungai Kahayan, tepatnya di muara Sungai Baru. Mereka terbentuk sebuah perkampungan yang kemudian diberi nama Sungai Baru. Uniknya, nama Sungai Baru itu sendiri diambil dari nama pohon kayu baru (waru) yang tumbuh berjejer di sepanjang sungai. Saat itu, ditunjuk sebagai Kepala kampung yang pertama bernama Bapak Dayan Nusa.
Sekitar tahun 1957 Bapak Asna (Bapak Banga) dan kawan-kawan membuka lahan baru di seberang Sungai Kahayan sebagai lahan untuk menanam padi sawah. Handel atau parit di kawasan lahan gambut dibangun secara gotong royong dengan menggunakan peralatan sederhana seperti selundak, cangkul, dan lain-lain yang menghabiskan waktu berbulan bulan. Kemudian parit besar tersebut diberi nama Sungai Tewu. Tewu diambil dari nama pohon tewu (tebu), disepanjang tanggul galian tersebut. Lahan disepanjang Sungai Tewu ditata dan diolah menjadi areal persawahan yang subur dengan hasil panen yang memuaskan. Berita kesuburan tanah dan keberhasilan petani di Sungai Tewu tersebar sampai ke hulu dan hilir Sungai Kahayan. Hal ini mengundang kedatangan para penduduk dari wilayah lain seperti Bahaur, Pangkoh, Pulang Pisau, Kalawa, bahkan sampai dari Goha, Tewah (Kabupaten Gunung Mas). Mereka datang untuk ikut membuka lahan di kawasan tersebut. Sejak saat itu, kawasan bantaran Sungai Tewu semakin bertambah banyak orang yang bermukim dari berbagai daerah.
Seni Tari Tradisional
Desa Sei Baru Tewu merupakan desa lokal masyarakat dayak sehingga mayoritas penduduk desa ini beretnis dayak (90%). Namun seiring berjalannya waktu dinamika penduduk seperi perkawinan atau perpindahan penduduk menambah etnis lain juga ada di desa seperti suku Banjar (5%), Jawa (5%). Sedangkan mengenai kepercayaan, mayoritas penduduk beragama Islam (60%) dan sisanya beragama Kristen (40%). Dengan mayoritas penduduk bersuku Dayak berdampak kuat terhadap seni budaya yang melekat di kehidupan masyarakat desa.
Meskipun tidak ada sanggar khusus ataupun kelompok kesenian, masyarakat Desa Sei Baru Tewu masih mengenal ataupun menampilkan pertunjukan kesenian lokal saat ada acara-acara tertentu. Beberapa kesenian yang masih ditampilkan misalnya Tari Manasai Pengantinaan.Tari Manasai merupakan salah satu jenis tari pergaulan dan melambangkan kegembiraan. Tarian ini dilakukan oleh beberapa orang penari pria dan wanita. Para penari berdiri berselang-seling antara pria dan wanita dalam satu lingkaran. Tari ini biasanya juga diadakan untuk menyambut tamu-tamu isitimewa atau biasa disebut juga dengan tarian selamat datang.
Selain itu, ada juga seni Karungut Pengantinan. Kesenian Karungut sangat dikenal oleh suku dayak Kalteng. Di sepanjang jalur sungai Kahayan, Katingan, Rungan Manuhing, Barito dan Kapuas, Karungut dikenal populer oleh masyarakat sekitar. Popularitas Karungut di sepanjang jalur sungai tersebut karena Karungut tidak lagi hanya sebatas ditampilkan dalam sebuah ritual melainkan sudah mudah ditemui pada berbagai macam acara hajatan seperti perkawinan, khitanan, penyambutan tamu penting, bahkan dalam acara kampanye. Seni Karungut kemudian menjadi turun temurun karena para ibu menyanyikan dan melantunkannya ketika menidurkan putra dan putrinya, sehingga sejak masa kecil masyarakat Kalteng telah terbiasa mendengarkan Karungut.
Ada juga Tari Mandau. Dalam pertunjukannya diiringi dengan alunan suara yang merdu dan menghentak, Tari Mandau biasnya tidak hanya di lakukan penari pria saja tetapi wanita juga melakukannya. Dalam perkembangannya Tari Mandau ini sering dilakukan di acara adat, upacara penyambutan, festival budaya dan lain-lain.
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Alam
Sebagai desa lokal masyarakat dayak, ada adat istiadat yang masih dilakukan masyarakat sampai saat ini khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, misalnya upacara adat Manyanggar. Ritual ini merupakan tradisi dalam lingkungan masyarakat dayak karena mereka percaya bahwa dalam kehidupan dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Ritual manyanggar biasanya digelar saat masyarakat akan membuka lahan baru untuk pertanian, mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilaksanakannya kegiatan masyarakat dalam skala besar. Melalui upacara ini, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia lainnya.
Ada juga yang disebut Tajahan, yaitu suatu tempat yang dikeramatkan oleh suku dayak. Lokasi tajahan pada umumnya berada di kawasan hutan belantara belantara.Di kawasan tersebut ada larangan untuk tidak melakukan berbagai aktifitas manusia seperti menebang pohon, memungut hasil hutan, berburu dan aktifitas lainnya. Konsep ini sangat relevan dengan konsep konservasi atau pelestarian alam dengan menjunjung tinggi kearifan lokal untuk menjaga alam serta budayanya.
Hal yang masih terjaga di kumunitas masyarakat Sei Baru Tewu ini adalah perilakuyang disebut Manugal. Manugal merupakan tata cara tradisional dalam menanam padi yang dilakukan secara handep (bersama-sama) atau gotong royong oleh masyarakat desa. Hal tersebut dilakukan pada saat musim tanam yang dilakukan di lading-ladang penduduk desa.
Ekowisata
Secara topografi Desa Sei Baru Tewu dilintasi jalur sungai besar, yaitu Sungai Kahayan. Bentang alam wilayah Desa Sei Baru Tewu merupakan dataran rendah non litteral dengan ketinggian kurang dari 10 Mdpl dan mempunyai sudut elevasi 8-15 serta dipengaruhi oleh pasang surut. Sehingga desa ini termasuk daerah yang mempunyai intensitas banjir yang cukup besar.
Meskipun demikian potensi alam desa tersebut cukup besar. Keindahan Sungai Kahayan sangat menakjubkan. Sejumlah hewan liar seperti bekantan dan monyet ekor panjang liar banyak ditemukan di sekitar desa di pinggir Sungai Kahayan. Hal ini dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung. Bekantan, hewan primata yang dilindungi itu kerap ditemui mencari makan di pagi dan sore hari di sekitar sempadan sungai atau hutan berawa. Hewal liar seperti monyet ekor panjang, babi hutan, trenggiling, beruang, serta kancil dan jenis primata liar seperti lutung, bekantan masih dapat ditemukan. Apalagi desa ini juga memiliki kawasan perlindungan alam berupa hutan desa seluar 3 hektare.
Selain berwisata menyusuri Sungai Kahayan, penjelajahan dapat dilakukan pada Sungai-sungai kecil berair jernih banyak ditemui mengelilingi desa. Potensi alam tersebut mampu menjadi modal untuk menjadi jalur penelusuran sungai dengan sampan kayu. Kegiatan penjelajahan sungai untuk pengamatan alam, untuk mengamati hewan liar seperti primata, burung atau reptile serta melihat ladang-ladang penduduk di pedalaman sungguh menjadi sajian alam pedesaan yang menarik. Dalam pengamatan tim www.pustakaborneo.org sepanjang jalur sungai banyak ditemuai ladang sayuran, kebun buah-buahan serta ladang padi. Sungai kecil jernih berair gambut tersebut juga banyak ditemukan ikan-ikan lokal. “Dahulu kita bisa melihat arwana di sungai atau rawa-rawa. Ikan tersebut pantang diambil karena menurut para tetua kami termasuk ikan dewa yang tidak boleh dimakan. Namun sejak tahun 90an ikan arwana tidak ditemukan lagi,” ujar Bapak Hermanus, warga kelahiran Desa Sei Tewu.
Dengan potensi alam dan budaya yang masih terjaga membuat Desa Sei Baru Tewu menjadi modal kuat untuk menjadi daya tarik orang yang datang. Ditambah juga, desa ini merupakan salah satu penghasil buah durian yang produktif di kabupaten Pulang Pisau. Disisi lain, potensi budaya lokal Dayak Ngaju juga masih terjaga. Beberapa penduduk desa masih menyimpan senjata-senjata atau berang-barang peninggalan leluhurnya. Lokasi-lokasi yang dianggap sakral juga masih terjaga. Para tetua adat serta penduduk dan aparat setempat berencana membangun rumah panjang, rumah adat tradisional suku Dayak. Ditempat itu akan dipajang senjata-senjata trasisional milik leluhuur atau perkakas-perkakas kuno dan juga barang-barang yang berkaitan dengan upacara adat. Sealain itu, keberadaan rumah panjang, tidak hanya menjadi “museum” atau galeri benda-benda kuno, namun menjadi tempat untuk berkumpul serta tempat pertunjukan seni budaya masyarakat. “Kami berencana untuk membuat Desa Wisata, untuk pelestarian adat kami,” harap Bapak Sima, sang Kepala Desa.